Suara beduk adzan subuh dari bawah
bukit berkumandang menggempar mengudara, ayam-ayam di kandang bernyanyi
bersahutan, dan sang bulan mulai terlelap di sinari matahari. Dinginnya embun
pagi menembus selah-selah bilik bambu, menusuk kulitku. Mengusikku dari singgasana
mimpi yang indah.
”Rif…, ayo bangun sudah
waktunya sholat subuh, lekaslah berwudhu”
seru ibu.
Dengan mata yang masih berat, aku
segera bangkit dari ranjang reot ku. Berwudhu. Bersenjatakan kain sarung dan
sebuah peci hitam, panglima kecil telah
siap berjamaah subuh melapor pada Komandan . Di gubuk tua ini. Mengimami
perempuan renta yang kusebut Ibu. Tak lupa untuk berdo’a setelahnya, mengharap
ridho dari-Nya. Ridho untuk seorang perempuan
janda dan anak yatimnya ini.
Kemudian ibu segera pergi ke dapur
untuk sekedar menyiapkan sarapan. Kulihat mukena lusuh ibu menggantung di
sebuah paku berkarat. Kusam, banyak jahitan tambalan di sana-sini. Terbersit
dalam pikirku untuk menghadiahkan sebuah mukena baru untuk ibu. Tapi apalah
daya, aku hanya seorang anak berumur sebelas tahun yang membanting tulang
dengan mengais sampah. Mencoba untuk mandiri, membantu ibu yang sudah tidak
kuat lagi untuk menghidupi.
Sarapan pagi ini seperti pagi-pagi
biasanya, segelas teh hangat. Alhamdulillah. Bagi kami sudah lebih dari cukup.
Di sela menikmati pagi, ku coba memulai obrolan hangat dengan ibu.
“Bu, Insyaallah kalau Arif punya
rejeki berlebih, Arif akan menghadiahkan sebuah mukena baru untuk ibu”, kataku.
“Tak perlu susah-susah memikirkan
ibu nak, kamu sudah mau membantu ibu saja, ibu sudah senang sekali,
sampai-sampai kamu tidak bisa bersekolah dan harus merelakan cita-citamu untuk
menjadi dokter”, jawab ibu dengan sebuah senyuman hangat menggantung di
dagunya.
“Tapi bu, mukena ibu yang lama
sudah jelek sekali, banyak jahitan tambalan di sana-sini”, bantahku sambil
mengernyitkan dahi.
“Nak…, ibadah itu memang lebih baik
jika dengan pakaian yang bagus-bagus, tapi yang lebih penting lagi, ibadah itu
jika pakaian yang kita gunakan itu bersih, dan
niat dari hati dalam beribadah semata-mata karena Allah”, senyuman ibu
semakin melebar di tambah lesung pipit di kedua pipinya, membingkai indah.
Sungguh mulia sekali hati ibu.
“Uhuk…!, Uhuk…!, Uhuk…!”, suara
parau terdengar dari mulutnya.
Sepertinya penyakit ibu mulai
kambuh kembali. Sudah lama obat ibu habis, namun aku tak sempat membelinya
karena belum punya cukup uang. Terkadang di kala malam, batuknya semakin parah,
di tambah dengan penyakit asmanya yang sering kambuh. Bahkan lebih parahnya
lagi akhir-akhir ini batuknya di sertai oleh darah. Sebenarnya aku tak sanggup
melihat ibu seperti ini, namun keadaan memaksa kami. Kadang aku hanya bisa
meringankan penyakit ibu dengan obat toko saja. Maka dari itu ibu harus banyak
istirahat, dan akulah sebagai anak tunggal yang menafkahinya.
Sinar matahari menelusuk dari
selah-selah bilik dinding bambu gubukku. Pertanda aku harus bergegas pergi
mengadu nasib. Ku kecup tangan hangat ibu dan segera berpamitan. Dengan sebuah gancu (pengait sampah berbentuk kail)
dan karung besar aku siap berperang dengan rezki hari ini. Berpamitan dengan
ibu dan sebuah senyuman hangat di wajahnya menyemarak dari daun pintu.
Bergegas menuruni bukit, menyusuri
jalan-jalan desa beriringan dengan anak-anak sejawat berseragam yang hendak
bersekolah. Tas mereka berisi buku-buku pelajaran sedangkan “tas” ku akan
segera di isi oleh sampah. Ironi yang harus ku jalani, walau terkadang terasa
sebuah tekanan di dada yang membuat aku sesak.
Tempat pembuangan sampah adalah
tempat favorit ku untuk mengait
rezki, berteman dengan lalat-lalat, dan bau sampah sudah seperti oksigen
bagiku. Terkadang yang paling berat bagiku adalah pandangan dan sindiran buruk
orang-orang kepada pemulung seperti ku, tapi bagiku itu sudah menjadi makanan
sehari-hariku.
“Dasar anak sampah!”, ejek mereka.
Seketika itu juga hatiku langsung
tersentak, ingin sekali aku melayangkan tinju ini ke wajah anak-anak itu,
tetapi aku ingat pesan ibuku,
“Nak selama pekerjaan itu halal insyaallah
pasti Allah meridhoinya, dan jika ada orang yang menyindirmu, anggaplah itu
angin lalu, mereka-mereka itulah orang-orang yang merugi”.
Mengingat pesan ibuku aku langsung mengurungkan
niatku dan meninggalkan tempat tersebut agar anak-anak tersebut tidak lanjut
terus mengejekku. Hal seperti ini memang
sering terjadi padaku, namun aku harus bisa membuktikan kepada mereka bahwa aku
lebih bisa sukses dan mandiri di kemudian hari, Insyallah, hal itulah yang
terus aku tanamkan dalam hidupku.
Tak terasa, waktu begitu cepat
berlalu. Adzan Ashar telah berkumandang dari sebuah masjid besar di seberang
jalan tempatku berdiri. Segera ku pinggirkan gancu dan karung yang baru berisi tigaperempatnya itu di luar
masjid. Sesuai pesan ibu padaku.
“Jangan pernah tinggalkan Sholat
kapanpun dan dimanapun”, selalu terngiang di ingatanku.
Bermandikan wudhu yang segar
sembari beristirahat menghapus peluh. Seorang imaman dan empat orang makmum
saja di masjid sebesar ini. Setelah Ashar selesai, ku luruskan pinggang dan
kakiku, merelaksasikan otot-ototku setelah seharian menyapu rezki. Sekedar satu
tiga menit lumayanlah menghapus lelah.
Pandanganku menelusuri setiap sudut
masjid yang megah ini. Kulihat dua buah petak hitam dengan ukuran tak jauh beda
di atas sajadah di belakang shaf imam. Setelah kudekati ternyata sebuah dompet
tebal dan Handphone, sepertinya milik salah satu jamaah Ashar tadi. Ku buka
dompet itu untuk melihat empunya, beberapa lembaran merah dan biru mengisi
dompet itu, dan sederetan kartu seperti KTP beragam warna. Namun bukan KTP,
mungkin itu yang disebut orang kaya dengan ATM. Bergegas ku pergi keluar masjid
mencari pemiliknya, siapa tahu masih ada di sekitar masjid.
Sebelumnya jantungku berdegup
kencang, seperti ada pertengkaran batin. Di satu sisi aku butuh uang, sedangkan
di sisi lain itu adalah dosa jika aku mengambil hak orang lain. Maka segera ku
urungkan niatku.
Dari
kejauhan kulihat seorang bapak-bapak tergesa-gesa dari luar semakin mendekat
kedalam masjid. Ku telusuri wajahnya mirip dengan photo KTP yang ada di dompet
ini. Segera ku dekati bapak itu.
“Assalamualaikum,
maaf apakah ini benar dompet dan Handphone bapak?”, tanyaku sambil menunjukkan
dompet dan Handphone yang kutemukan tadi.
“Waalaikumsalam,
Alhamdulillah…, iya benar itu dompet dan Handphone saya!”, seru bapak itu,
seperti ada sebuah kelegaan di hatinya.
Sembari
dompet dan Handphone berpindah dari tanganku ke tangan bapak itu, mulut bapak
it uterus saja mengucap sukur.
“Terimakasih
ya nak, kamu memang baik sekali. Bisa mati bapak kalo kehilangan dompet ini,
soalnya di dalamnya ada kertas-kertas catatan penting”, senyum lebar menghiasi
bapak itu menyapu raut sendu.
“Iya
pak sama-sama”, jawabku.
Kemudian
bapak itu membuka dompetnya, dan mengambil beberapa lembaran merah.
“Nih
nak… buat kamu jajan”, seraya menuntun tanganku untuk menganbil lembaran merah
itu.
“Tidak
pak, terimakasih banyak. Saya ikhlas menolong bapak…!”, seruku
“Kalau
begitu anggap saja ini ungkapan terimakasih dari bapak, Asslamualaikum!”, bapak
itu bergegas pergi dan meningggalkan lemabran merah itu di tanganku.
Senang
sekali rasa hatiku, mungkin ini rejeki yang Allah kirimkan untukku hari ini
dengan bapak itu sebagai perantaranya. Alhamdulillah.
Uang ini cukup untuk menghadiahkan sebuah
mukena baru untuk ibu, dan juga obat-obatan untuk ibu. Dua bungkus nasi padang
untuk pesta nanti malam, sekedar menikmati rejeki dari Allah, dan beberapa
lembar bisa di masukkan dalam celengan ayamku.
Setelah
berkeliling menacri mukena dan obat-batan ibu, dengan dua bungkus nasi di
kantong plastic menggantung di tangan. Ku singgapkan karung dan gancu di punggung untuk memudahkanku
berlari. Mengingat awan mendung telah menutupi langit, sepertinya mau hujan
lebat. Pohon-pohon besar di dekat gubukku dengan mudah patah kapan saja jika
ada badai, dan sewaktu-waktu bisa menimpa gubuk reot kami.
Asstagfirullahalazim.
Bergegas
ku berlari, tak sabar ingin melihat raut wajah bahagia ibu dengan apa yang akan
kuberikan padanya nanti. Gemuruh petir tak kuhiraukan lagi, aku terus berlari
sekencang angin yang menerjang tubuhku. Rintik-rintik kecil mulai berjatuhan,
membasuh peluhku seharian ini. Awan tak mampu lagi menahan beban air.
Bernostalgia seperti anak kecil yang menari bahagia di bawah rintik di kala
hujan datang. Ya ketika Ayah masih ada aku pernah menikmati itu. Namun tidak
dengan sekarang.
Derasnya hujan menghentikan sejenak
keinginanku untuk melihat senyuman ibu terpagut hangat di wajahnya. Semakin
lama semakin deras. Bukan semakin cerah, namun semakin gelap. Ada perasaan yang
tak enak di hati. Ada yang mengganjal, tapi entah apa akupun tak mengerti.
Berteduh, yang di dalam pikiranku hanya ibu, ibu renta yang sendirian di rumah.
Angin semakin riuh menerbangkan apapun yang di sapunya.
Hawa dingin menyeruak keseluruh
tubuhku, hatiku semakin getar-getir saja, jantung berdegup kecang, tekanan
darah terasa semakin panas, seperti ada firasat buruk yang tidak enak dengan
ibuku, rasanya tak dapat ku tahan lagi rasa khawatirku ini. Seraya memohon
pertolongan dari sang Khalik.
Ku bungkus rapi-rapi bawaanku
dengan kantong plastik yang kupunya, berharap hujan tak membasahinya. Bismillah.
Di temani derasnya hujan dan kencangnya angin, aku berlari sekencang mungkin,
berharap cepat sampai kerumah.
Terdengar suara air yang terpecah
dari genangan air yang kuinjak. Gubukku masih cukup jauh di atas bukit. Terus
berlari dan terus berlari sembari berdo’a.
Kulihat dari kejauhan, samar-samar
ada sebuah keramaian di sana. Ya di dekat rumah ku. Ramai sekali, walau hujan
masih cukup deras. Darahku semakin memanas, dan jantungku berdegup dengan
kencangnya. Ku harap firasat burukku tak benar terjadi.
Semakin kupercepat laju lariku,
kulihat daun-daun berserakan, ranting-ranting pohon patah. Sebuah pohon besar
tumbang. Bagaimana dengan gubukku? Bagaimana dengan ibu?. Sesampainya di
keramaian badanku lemas seketika, tubuhku terasa terguncang hebat, kutemukan
sebuah kegelapan, aku seperti berada di dalam sebuah ruang hampa tanpa seberkas
sinarpun. Gelap sekali. Begitu hening. Bingung, di dalam hati aku
bertanya-tanya, ”di mana aku?”, aku terus mencoba berjalan, mencari jalan
keluar, hingga akhirnya aku menemukan seberkas sinar dan suara yang samar-samar
terdengar. Hujan badai telah berhenti. Dari kupingku mulai terbersit
suara-suara orang yang sedang mengaji, kemudian aku tersadar. Tersentak aku
terbangun lalu bertanya pada orang-orang di sekitarku”di mana ini? di mana
aku?”, tapi tak ada jawaban apapun dari orang-orang yang mengenakan pakaian
serba hitam itu, mereka hanya menatapku dengan penuh rasa kasihan iba. Lalu
seorang tua sejawat ibuku berkata “Nak,hari ini kau sudah menjadi seorang yatim
piatu”, mendengar itu aku sangat tidak percaya, aku hanya bisa terdiam bisu,
hanya bisa teratap semu, tapi ini bukanlah mimpi, ini adalah sebuah kenyataan
hidup yang harus ku hadapi. Segera di bantu aku berdiri, dan di antarkan aku
kesebuah ruangan.
Di sana terlihat, sesosok perempuan
cantik,yang lembut dengan penuh kasih sayangnya, tergulai lemas tak berdaya,
wajahnya tenang semu di tambah pucatnya yang bersinar, ditambah dengan lukisan
senyuman bibir yang indah di wajahnya. Yang terbayang dalam benakku hanyalah
sebuah bayang wajah penuh dengan kehangatan, belaian kasih sayang darinya, dan
senyuman di pagi hari menngantarkaku pergi, menjadi senyuman terkakhir darinya.
Tapi setidaknya ibuku tidak memerlukan mukena baru lagi, karena dia telah
mengenakan secercah kain putih bersih nan suci membalut tubuhnya, dia tak perlu
lagi menahan sakit, dan tak perlu lagi hidup susah. Sungguh indah cintamu untukku, sungguh hangat kasihmu untukku,
terimakasih ibu... kau akan selalu ada di sini, di hatiku. Terimakasih telah
mengisi kisahku, kisah si anak sampah. Semoga kau tenang di sana. Amin.
Innalillahi wa innailaihi roji’un.
No comments:
Post a Comment